Kapanlagi.com - Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dan Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia (APEGTI) menyatakan komoditi gula dan beras Indonesia siap bersaing dengan produksi sejenis dari negara ASEAN lainnya saat terjadi pasar tunggal ASEAN tahun 2015, asalkan Pemerintah Indonesia memperbaiki manajemen dan kebijakan tata niaga dan pemberian kreditnya.
Sekjen
HKTI, Rachmat Pambudy di Jakarta, Kamis (24/08), mengatakan sepanjang
perdagangan bebas di ASEAN berlangsung fair (adil),
petani dan pengusaha beras ndonesia akan siap bersaing.
"Fair
berarti negara lain tak ada subsidi, tidak melakukan dumping dan
tidak membantu pedagangnya dengan fasilitas khusus, misalnya kredit dan ekspor
serta tidak ada bantuan pemasaran," katanya.
Menurut
dia, jika negara lain melakukan hal tersebut maka Indonesia tidak mampu
memperkuat posisinya di pasar tunggal ASEAN daLam waktu 9 tahun mendatang.
Sementara
itu Ketua APEGTI, Natsir Mansyur yang dihubungi terpisah juga menyatakan
kesiapannya menyambut pasar tunggal ASEAN yang dimajukan tahun 2015 dari semula
2020.
"Indonesia
akan diuntungkan (adanya pasar tunggal ASEAN), apalagi dipercepat (tahunnya).
Dan dengan masuknya produksi gula ke pasar tunggal, produksi gula kita akan
terpacu mengejar ketertinggalan dengan negara lain," katanya.
Pengusaha
gula yang tergabung dalam asosiasinya mengaku siap namun masih diperlukan
dukungan pemerintah untuk memperbaiki berbagai hal dari produksi, tata niaga
atau distribusi hingga ke tangan konsumen.
"Jika
mau gula kita bersaing dengan Filipina atau Thailand, ada beberapa perbaikan
yang perlu dilakukan perbaikan mutu, perbaikan tata niaga gula dan manajemen
gula nasional," katanya.
Pesaing Beras
Lebih
lanjut Sekjen HKTI Rachmat Pambudy menjelaskan, menghadapi pesaing beras di
tingkat ASEAN yaitu Vietnam dan Thailand, Indonesia seharusnya mampu membuat
keunggulan komparatifnya menjadi keunggulan kompetitif dengan perbaikan sistem
pendukung.
Keunggulan
kompetitif tersebut menyangkut sumber daya meliputi letak geografis, iklim dan
lahan, sumber daya manusia yakni jumlah penduduk dan upah buruh yang murah
serta komoditi yang beragam lainnya antara lain coklat, teh, dan kopi.
"Namun
diperlukan sistem pendukung untuk membuat faktor-faktor itu punya daya saing,
harus ada kebijakan yang kongkrit. Pemerintah harus memberikan kredit yang
terjangkau, jika Malaysia bisa kasih enam persen ke petaninya Indonesia juga
bisa," kata Rachmat.
Rachmat
menambahkan, selain itu perlu pembenahan infrastrukrtur, penelitian dan
pengembangan serta peningkatan kemampuan manajemen.
Dosen IPB
itu juga menyarankan Pemerintah Indonesia secepatnya menyelesaikan hukum
perburuhan, hukum perdagangan dan mengatasi pungutan liar atau ekonomi biaya
tinggi agar dunia bisnis lebih tertata.
Ia
mengatakan penataan manajemen perlu dilakukan seiring dengan pembenahan
kelengkapan sarana produksi antara lain lahan, air irigasi, penyediAan pupuk,
benih pestisida yang murah.
Produksi
beras di Indonesia menurut data terakhir yang disebutkan Rachmat adalah sebesar
33 juta ton per tahun, sedangkan tingkat konsumsi masyarakat Indonesia per
kapita mencapai 135 kilogram per kapita per tahun. Dengan jumlah penduduk
sekitar 230 juta jiwa maka kebutuhan konsumsi sekitar 31 juta ton per tahun.
Dengan
data-data tersebut diperoleh adanya kelebihan produksi sekitar 2 juta ton
sehingga pasar tunggal ASEAN merupakan peluang yang sangat positif untuk
menggairahkan penjualan beras produsen Indonesia.
"Dengan
perbaikan di sistem pendukung maka kita bisa menembus pasar ASEAN, utamanya
pasar beras di Malaysia yang cukup menjanjikan. Semua keunggulan harus
dimanfaatkan termasuk letak Indonesia yang strategis," katanya.
Sementara
itu berkaitan dengan mutu gula, Ketua APEGTI Natsir Mansyur menyarankan
pemerintah harus membangun pabrik gula dan kebun tebu baru di luar Jawa,
revitalisasi mesin pengolahan tebu dan gula dan dibuatkan standar mutu nasional
gula.
"Pabrik
gula ada 68 unit, 70%-nya peninggalan jaman Belanda dengan mesin yang usianya
sudah ratusan tahun. Industri gula produksinya jadi rendah dengan tingkat
efisiensi yang rendah juga, ini kan masalah," katanya.
Kondisi
tersebut berakibat kualitas gula Indonesia tertinggal jauh dengan negara lain,
sementara di Indonesia masih mengalami defisit gula sebesar 1,3 juta ton karena
produktifitas rendah dan tingkat konsumsi dalam negeri yang tinggi.
"Harus
ada kemampuan kongkrit pemerintah, jangan buat kebijakan yang plintat-plintutseperti
kebijakan swasembada gula yang diundur hingga 2010. Jika ada iklim yang bagus,
hukum yang jelas dan aturan main yang jelas maka banyak yang tertarik dengan
bisnis ini," katanya. (*/lpk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar