Selasa, 12 Maret 2013

Beras dan Gula Siap Bersaing di Pasar Tunggal ASEAN 2015



Kapanlagi.com
 - Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dan Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia (APEGTI) menyatakan komoditi gula dan beras Indonesia siap bersaing dengan produksi sejenis dari negara ASEAN lainnya saat terjadi pasar tunggal ASEAN tahun 2015, asalkan Pemerintah Indonesia memperbaiki manajemen dan kebijakan tata niaga dan pemberian kreditnya.
Sekjen HKTI, Rachmat Pambudy di Jakarta, Kamis (24/08), mengatakan sepanjang perdagangan bebas di ASEAN berlangsung fair (adil), petani dan pengusaha beras ndonesia akan siap bersaing.
"Fair berarti negara lain tak ada subsidi, tidak melakukan dumping dan tidak membantu pedagangnya dengan fasilitas khusus, misalnya kredit dan ekspor serta tidak ada bantuan pemasaran," katanya.
Menurut dia, jika negara lain melakukan hal tersebut maka Indonesia tidak mampu memperkuat posisinya di pasar tunggal ASEAN daLam waktu 9 tahun mendatang.
Sementara itu Ketua APEGTI, Natsir Mansyur yang dihubungi terpisah juga menyatakan kesiapannya menyambut pasar tunggal ASEAN yang dimajukan tahun 2015 dari semula 2020.
"Indonesia akan diuntungkan (adanya pasar tunggal ASEAN), apalagi dipercepat (tahunnya). Dan dengan masuknya produksi gula ke pasar tunggal, produksi gula kita akan terpacu mengejar ketertinggalan dengan negara lain," katanya.
Pengusaha gula yang tergabung dalam asosiasinya mengaku siap namun masih diperlukan dukungan pemerintah untuk memperbaiki berbagai hal dari produksi, tata niaga atau distribusi hingga ke tangan konsumen.
"Jika mau gula kita bersaing dengan Filipina atau Thailand, ada beberapa perbaikan yang perlu dilakukan perbaikan mutu, perbaikan tata niaga gula dan manajemen gula nasional," katanya.
Pesaing Beras
Lebih lanjut Sekjen HKTI Rachmat Pambudy menjelaskan, menghadapi pesaing beras di tingkat ASEAN yaitu Vietnam dan Thailand, Indonesia seharusnya mampu membuat keunggulan komparatifnya menjadi keunggulan kompetitif dengan perbaikan sistem pendukung.
Keunggulan kompetitif tersebut menyangkut sumber daya meliputi letak geografis, iklim dan lahan, sumber daya manusia yakni jumlah penduduk dan upah buruh yang murah serta komoditi yang beragam lainnya antara lain coklat, teh, dan kopi.
"Namun diperlukan sistem pendukung untuk membuat faktor-faktor itu punya daya saing, harus ada kebijakan yang kongkrit. Pemerintah harus memberikan kredit yang terjangkau, jika Malaysia bisa kasih enam persen ke petaninya Indonesia juga bisa," kata Rachmat.
Rachmat menambahkan, selain itu perlu pembenahan infrastrukrtur, penelitian dan pengembangan serta peningkatan kemampuan manajemen.
Dosen IPB itu juga menyarankan Pemerintah Indonesia secepatnya menyelesaikan hukum perburuhan, hukum perdagangan dan mengatasi pungutan liar atau ekonomi biaya tinggi agar dunia bisnis lebih tertata.
Ia mengatakan penataan manajemen perlu dilakukan seiring dengan pembenahan kelengkapan sarana produksi antara lain lahan, air irigasi, penyediAan pupuk, benih pestisida yang murah.
Produksi beras di Indonesia menurut data terakhir yang disebutkan Rachmat adalah sebesar 33 juta ton per tahun, sedangkan tingkat konsumsi masyarakat Indonesia per kapita mencapai 135 kilogram per kapita per tahun. Dengan jumlah penduduk sekitar 230 juta jiwa maka kebutuhan konsumsi sekitar 31 juta ton per tahun.
Dengan data-data tersebut diperoleh adanya kelebihan produksi sekitar 2 juta ton sehingga pasar tunggal ASEAN merupakan peluang yang sangat positif untuk menggairahkan penjualan beras produsen Indonesia.
"Dengan perbaikan di sistem pendukung maka kita bisa menembus pasar ASEAN, utamanya pasar beras di Malaysia yang cukup menjanjikan. Semua keunggulan harus dimanfaatkan termasuk letak Indonesia yang strategis," katanya.
Sementara itu berkaitan dengan mutu gula, Ketua APEGTI Natsir Mansyur menyarankan pemerintah harus membangun pabrik gula dan kebun tebu baru di luar Jawa, revitalisasi mesin pengolahan tebu dan gula dan dibuatkan standar mutu nasional gula.
"Pabrik gula ada 68 unit, 70%-nya peninggalan jaman Belanda dengan mesin yang usianya sudah ratusan tahun. Industri gula produksinya jadi rendah dengan tingkat efisiensi yang rendah juga, ini kan masalah," katanya.
Kondisi tersebut berakibat kualitas gula Indonesia tertinggal jauh dengan negara lain, sementara di Indonesia masih mengalami defisit gula sebesar 1,3 juta ton karena produktifitas rendah dan tingkat konsumsi dalam negeri yang tinggi.
"Harus ada kemampuan kongkrit pemerintah, jangan buat kebijakan yang plintat-plintutseperti kebijakan swasembada gula yang diundur hingga 2010. Jika ada iklim yang bagus, hukum yang jelas dan aturan main yang jelas maka banyak yang tertarik dengan bisnis ini," katanya. (*/lpk)


Tidak ada komentar: