Selasa, 12 Maret 2013

Perbankan Menyongsong Pasar Tunggal ASEAN 2015


Selain regulasi kepemilikan yang sangat terbuka, banyak hal yang membuat sektor perbankan Indonesia begitu diminati investor asing. Tak perlukah kita melakukan restriksi atau regulasi yang lebih ketat ketika pemberlakuan MEA sudah kian dekat? A. Prasetyantoko
Tak terasa, kita sudah semakin dekat dengan tenggat waktu pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC) pada 2015. Padahal, tahun depan perhatian kita pasti akan tersedot pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Begitu pemerintahan baru terbentuk, mereka sudah harus menghadapi MEA. Itu pun dengan catatan pemilu berlangsung aman.
MEA dibentuk dengan visi ideal, untuk menciptakan pasar tunggal kompetitif dengan prinsip kesetaraan (equality) di antara negara anggota. Padahal, perbedaan karakteristik perekonomian masing-masing negara cukup lebar.
Sementara, rujukan dari MEA, yaitu Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) yang sudah berlangsung cukup lama saja, kini dirundung masalah pelik. Perbedaan kondisi makro-ekonomi masing-masing negara telah membuat pasar tunggal Eropa nyaris sulit diselamatkan. Pertanyaannya bagi kita, masih relevankah rencana MEA itu?
Untuk saat ini, tak ada pilihan lain. Mau tak mau kita harus mengikuti “AEC scorecard” yang sudah disusun sambil menyiapkan diri untuk masuk ke dalam mekanisme pasar tunggal tersebut. Semua sektor ekonomi akan terkena, mulai dari pasar barang, jasa, investasi, keuangan, hingga pasar tenaga kerja terampil. Bagaimana prospek perbankan Indonesia memasuki MEA 2015?
Sektor Perbankan 
Bisa jadi, sektor perbankan kita sebenarnya paling siap menghadapi liberalisasi. Dalam arti, sekarang pun sektor perbankan kita sudah sangat liberal. Studi Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA), dengan metode survei terhadap tingkat restriksi perbankan di negara-negara ASEAN, menunjukkan fakta tersebut.
Dari sederet indikator yang digunakan, Indonesia memiliki skor lebih rendah dalam hal tingkat restriksi perbankan dibandingkan dengan tingkat rata-rata untuk seluruh negara ASEAN. Misalnya, restriksi dalam hal kepemilikan pihak asing. Sementara rata-rata ASEAN sebesar 43, Indonesia skornya 1. Dalam hal regulasi terhadap pemilik asing, skor Indonesia 33, sementara skor rata-ratanya 36.
Sebagaimana kita ketahui, investor asing boleh memiliki 99% aset bank. Sulit menemukan aturan sebebas itu di negara lain. Kita termasuk yang paling bebas. Hal tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 1999. Pada Pasal 3 (PP tersebut) disebutkan, ”Jumlah kepemilikan saham bank oleh warga negara asing dan atau badan hukum asing yang diperoleh melalui pembelian secara langsung ataupun melalui bursa efek sebanyak-banyaknya adalah 99% dari jumlah saham yang bersangkutan”.
Itulah mengapa, pihak asing berbondong-bondong masuk ke sektor perbankan di Indonesia. Hingga akhir 2011, lebih kurang 47 bank dikuasai pemilik asing dengan total aset lebih dari Rp3.000 triliun. Atau, lebih dari 50% dari total aset perbankan nasional telah dikuasai pihak asing.
Aturan kepemilikan hanyalah satu hal. Masih ada hal lain yang membuat sektor perbankan kita begitu diminati. Satu, perbankan di Indonesia dikenal sebagai perbankan yang cukup aman (prudent). Jika di banyak belahan negara lain sektor perbankan menimbulkan banyak masalah, di Indonesia perbankan dikelola dengan sangat baik. Kalaupun aturan Basel III segera diberlakukan, tingkat kecukupan likuiditas bank-bank nasional yang rata-rata sebesar 18% tidak akan mengalami masalah berarti.
Dua, tingkat keuntungan sektor perbankan di Indonesia sangat menggiurkan. Pada 2011 rasio pendapatan bunga bersih terhadap rata-rata aktiva tertimbang atau net interest margin (NIM) mencapai tingkat tertinggi sejak 2005, yakni berada di kisaran 6%. Padahal, negara-negara ASEAN lainnya berada di kisaran 2%–4%. Siapa yang tak tergiur dengan tingkat profitabilitas yang sedemikian besar?
Jika dilihat lebih jauh, bank-bank badan usaha milik negara (BUMN) mencatat kenaikan paling besar dalam pencapaian NIM pada 2011 dibandingkan dengan tahun sebelumnya. NIM bank-bank persero naik dari 6,11% pada 2010 menjadi 6,55% pada 2011. Ada peningkatan NIM sebesar 0,44%. Sementara itu, bank umum mengalami peningkatan NIM sebesar 0,18% dan bank asing 0,08%.
Laba bersih juga mengalami peningkatan pada 2011 dibandingkan dengan periode sebelumnya. Bank persero memimpin kenaikan laba dengan peningkatan sebesar 43% pada 2011 terhadap 2010.
Sementara, laba bersih bank-bank asing naik 35% dan bank umum sebesar 31%. PT Bank Mandiri, Tbk. sebagai bank terbesar dan PT Bank Rakyat Indonesia (BRI), Tbk. memimpin dalam hal perolehan laba. Jika Bank Mandiri didukung skala usahanya, sebagai bank terbesar di Indonesia BRI ditopang kinerjanya di sektor mikro.
Tiga, prospek ekspansi perbankan di Indonesia masih sangat luas. Data International Monetary Fund (IMF) menunjukkan, rasio aset-aset lembaga perbankan (deposit-taking institution) terhadap produk domestik bruto (PDB) di Indonesia baru mencapai lebih kurang 48%. Bandingkan dengan Malaysia yang sudah mencapai 180%, Filipina 78%, dan Thailand 137%.
Sementara, menurut data Bank Dunia, baru sekitar 60% penduduk Indonesia yang memiliki akses deposit ke perbankan. Jika diukur dari akses kredit, nilainya lebih rendah lagi, yaitu sekitar 40%.
Melihat kondisi tersebut, sangat jelas bahwa potensi pasar di Indonesia masih sangat terbuka luas. Dari ketiga faktor tersebut, tidak ada alasan bagi pihak asing untuk tidak tertarik masuk ke Indonesia. Lalu, bagaimana jika MEA diberlakukan pada 2015 mendatang? Sangat jelas, Indonesia akan menjadi pasar yang sedemikian luas bagi pemain asing.
Regulasi 
Melihat fakta-fakta tersebut, satu pertanyaan yang segera muncul, tidak perlukah kita melakukan restriksi atau regulasi yang lebih ketat terhadap sektor perbankan kita? Pada dasarnya, sektor perbankan adalah sektor yang paling restriktif. Regulasinya begitu ketat. Namun, harus disadari bahwa pemberlakuan MEA 2015 tentu membatasi penggunaan restriksi dan regulasi. Bagaimana kita menyiasati hal tersebut?
Apa pun alasannya, kita perlu menghormati kesepakatan di tingkat ASEAN yang sudah ditandatangani sejak lama. Meski begitu, kita harus mencari celah untuk tetap melakukan restriksi dalam rangka melindungi kepentingan domestik. Satu, terkait dengan kepemilikan, wacana yang dikembangkan oleh Bank Indonesia (BI) untuk membatasi kepemilikan mayoritas perlu didudukkan dalam proporsinya.
Artinya, niat untuk mengurangi dominasi kepemilikan, baik asing maupun domestik, tentu patut dihargai. Namun, tetap harus memperhitungkan fakta empiris bahwa pihak asing menguasai lebih dari 50% aset perbankan nasional. Perlu ada metode yang elegan untuk mencari jalan tengah.
Dua, soal prinsip resiprokal. Artinya, aturan yang diberlakukan pada negara setempat akan digunakan untuk bank-bank dari negara tersebut di Tanah Air. Misalnya, di Singapura bank asing tidak boleh membuka ATMs, maka prinsip yang sama juga perlu digunakan pada bank-bank Singapura di Indonesia.
Tiga, penerapan “multiple licence”. Artinya, sebuah bank yang mengantongi izin membuka kantor di Jakarta tidak serta-merta bisa membuka cabang di kota lain. Jika mereka ingin melakukannya, harus melakukan prosedur perizinan lagi. Tidak otomatis seperti sekarang.
Pendeknya, perlu ada mekanisme yang berimbang antara memberi kesempatan pada sektor perbankan, baik pemilik asing maupun domestik, dengan melindungi kepentingan domestik. Di era liberalisasi dan pemberlakuan mekanisme pasar tunggal, kepentingan nasional tetap harus dikedepankan.
Karena itu, perlu dipikirkan format pasar tunggal macam apa yang sebenarnya cocok untuk negara-negara ASEAN yang memang divergen tersebut. Kita perlu berkaca pada dinamika Pasar Tunggal Eropa—ketika terjadi guncangan, mereka kembali pada kepentingan domestiknya masing-masing. (*)
Penulis adalah Ketua LPPM, Unika Atma Jaya, Jakarta.

Tidak ada komentar: