Selasa, 12 Maret 2013

Setumpuk Pekerjaan Rumah Jasa Logistik Tanah Air


Indonesia hanya mempunyai waktu tiga tahun untuk menyambut pasar tunggal ASEAN pada 2015. Tahun depan integrasi jasa logistik ASEAN pun harus dimulai.
Namun, pada kenyataannya, sistem logistik di Tanah Air masih belum siap berkompetisi. Lagi-lagi, aspek infrastruktur dan transportasi yang tidak maksimal, baik kuantitas maupun kualitasnya.
Soal infrastruktur ini salah satunya pelabuhan. Padahal, kapal laut cukup mendominasi transportasi internasional, yakni menampung sekitar 90 persen dari total volume barang yang diangkut. Kondisi pelabuhan di Tanah Air banyak mendapat keluhan dari sejumlah pelaku usaha.
Pengusaha kapal yang tergabung dalam Indonesian National Shipowners Association (INSA) sering mengeluhkan layanan yang tidak sesuai dengan biaya yang dikeluarkan di pelabuhan-pelabuhan Tanah Air.
Beban industri dan biaya logistik nasional menjadi tinggi. Pasalnya, untuk dapat bersandar di pelabuhan saja, kapal harus menunggu berhari-hari.
Sebagai contoh, di Pelabuhan Belawan, kapal kontainer yang hendak bersandar harus menunggu tiga hari, di Pontianak menunggu empat hari, dan di Balikpapan menunggu empat hari.
Untuk kapal curah kering, menunggu di Semarang butuh waktu 9,55 hari, Surabaya 14,07 hari, Gresik 5,60 hari, dan Banyuwangi 11,95 hari. Begitu juga untuk kapal general kargo, masa tunggunya relatif lebih lama, di Banyuwangi 10,8 hari, Lembar 3,17 hari, Surabaya 13,1 hari, Semarang 5,11 hari, dan Gresik 11,12 hari.
"Semakin lama kapal menunggu untuk bersandar, biaya yang harus ditanggung pemilik kapal juga terus bertambah. Ini akan berdampak mahalnya biaya kepada pemilik barang dan selanjutnya akan memengaruhi biaya logistik nasional.
Jadi, tidak heran, ongkos angkut Jakarta-Belawan mencapai Rp 7-8 juta per Teus, sedangkan untuk ongkos angkut rute Jakarta-Singapura mencapai US$ 120 per Teus atau hanya Rp 1,18 juta," kata Ketua INSA Carmelita Hartoto, di Jakarta, belum lama ini.
Pemilik kapal juga menyoroti masalah inefisiensi regulasi pelayaran yang menjadikan beban biaya menjadi sangat besar.
“Soal waktu, bea cukai juga memengaruhi biaya operasional, misalnya selesai pukul 14.00, di wilayah timur Indonesia jam segitu sudah tidak ada kegiatan, sehingga menambah trip kapal. Akses jalan dari dan ke pelabuhan juga harus diperhatikan,” kata dia.
Kendala Terbesar
Terkait infrastruktur, pakar pelabuhan menilai infrastruktur pelabuhan di Tanah Air belum mendukung untuk disinggahi kapal-kapal besar. Padahal, keberadaan kapal-kapal besar ini yang akan menambah daya saing pelayaran nasional saat pelaksanaan integrasi jasa logistik ASEAN 2013 sebagai bagian dari pasar tunggal ASEAN 2015 atau ASEAN Connectivity.
Direktur Pusat Kerja Sama dan Promosi Ipteks Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Saut Gurning mengatakan yang menjadi masalah di industri pelayaran nasional adalah ketidakseimbangan perdagangan (inbalance trade) yakni muatan kapal banyak yang tidak terisi dari sejumlah daerah di Indonesia.
Masalah lainnya, ketersediaan pelabuhan yang kurang memadai, yakni kedalaman kolam pelabuhan yang masih kurang sehingga tidak dapat disinggahi kapal-kapal besar.
Kondisi infrastruktur yang minim tersebut dibenarkan pelaku usaha jasa ekspres dan logistik. Managing Director PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) Johari Zein mengatakan, untuk dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri saat pelaksanaan ASEAN Connectivity, pelaku usaha nasional harus didukung ketersediaan infrastruktur.
"Soal ketersediaan infrastruktur ini berpengaruh terhadap pengiriman logistik, karena volume besar memerlukan prasarana seperti ketersediaan layanan pelabuhan yang efisien," tuturnya.
Dia menjelaskan, ketersediaan infrastruktur untuk logistik itu sangat penting karena memengaruhi kelancaran distribusi baik oleh kapal laut, darat, maupun pesawat udara, yang harus mampu memberikan kepastian waktu dan tidak menimbulkan biaya tinggi.
Selain pelabuhan yang belum efisien, di jalan darat juga begitu, yakni terganggu akan sarana jalan. Selain itu, adanya pungutan-pungutan di hampir seluruh daerah yang dilewati. Masih banyak juga daerah yang tidak terhubung dari sisi darat, contohnya 70 persen daerah di Kalimantan yang mayoritas dilalui sungai, tidak terhubung satu sama lain.
"Harusnya disiapkan angkutan penyeberangan yang lebih banyak untuk mempermudah angkutan logistik," tuturnya.
Johari menyebutkan Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos dan Logistik Indonesia (Asperindo) pada 2006 memprediksi pendapatan dari jasa ekspres sebesar Rp 6 triliun. Namun, pada empat tahun terakhir, estimasi ini sudah berubah dan sekarang sudah sebesar Rp 10 triliun.
Artinya, pasar jasa pengiriman dan logistik di Tanah Air sangat besar sehingga perlu dikelola lebih serius. Apalagi kalau infrastruktur di semua lini mendukung, diprediksi pasar industri ini akan lebih besar.
Sayangnya, pemain terbesar untuk pangsa pengiriman ekspor masih dikuasai perusahaan jasa ekspres dan logistik asing, yakni oleh empat perusahaan yang menguasai 90 persen jasa pengiriman ekspor. Pemain lokal harus berupaya lebih keras agar bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri, tentunya dengan bantuan ketersediaan infrastruktur yang mendukung kelancaran usaha.
Di sektor transportasi udara, beban logistik juga mendera. Sekjen Indonesia National Air Carriers Association (INACA) Tengku Burhanuddin mengatakan, masalah pada kargo penerbangan adalah muatan yang hanya satu arah, sama seperti kapal dari Jakarta ke Papua.
Selain itu, belum semua bandara tersedia storage (penyimpanan) yang memadai misalnya untuk ekspor ikan tuna. Kondisi lainnya yang memengaruhi daya saing dunia penerbangan nasional, yakni keterbatasan infrastruktur bandara.
Saat mendekati ASEAN Connectivity, kita akan memasuki ASEAN Open Sky 2015, yakni kebijakan langit terbuka untuk maskapai-maskapai asal negara-negara ASEAN. Mereka akan bebas masuk di sejumlah bandara yang sudah ditetapkan. Di Indonesia ada lima bandara.
Sayangnya, kondisi di bandara kita, salah satunya Bandara Soekarno-Hatta, sudah terlalu padat akan jadwal penerbangan, sementara kapasitas terbatas, sehingga sering menyebabkan delay atau keterlambatan. Bagaimana tidak, bandara ini hanya dirancang untuk menampung 22 juta orang per tahun, hingga akhir 2011, sudah disesaki 51 juta penumpang.
Landasan pacunya atau runway juga sudah melampaui daya tampungnya, yakni dirancang untuk pergerakan 52 pesawat per jam, namun saat ini tercatat sudah 72 pergerakan pesawat per jam.
Berikut ini data kecil mengenai kondisi logistik di Tanah Air. Biaya logistik nasional tercatat mencapai 27 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), bandingkan dengan Jepang yang sudah 10,6 persen, Amerika Serikat 9,9 persen, dan Korea Selatan 16,3 persen.
Logistik Performance Index (LPI) Indonesia berdasarkan data Bank Dunia pada 2012, tercatat di peringkat 59 dari 155 negara, jauh lebih rendah dibandingkan Singapura di posisi pertama. Bahkan, Indonesia kalah dengan Vietnam yang sudah di peringkat 53 dan Malaysia 29.
Konektivitas Domestik
Ketidakefisienan kondisi logistik nasional yang terjadi sesungguhnya telah diketahui pemerintah. Karenanya, diterbitkanlah Peraturan Presiden No 26/2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional (Sislognas) yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 5 Maret 2012. Di dalam beleid tersebut dijabarkan kondisi sistem logistik nasional, permasalahan dan rencana aksi periode 2011-2025.
Bahkan, Kementerian Perhubungan tercatat sebagai institusi yang diserahi tanggung jawab terbanyak dalam seluruh rencana aksi di Sislognas ini. Terdapat tujuh bidang rencana aksi, dengan penekanan tertinggi pada rencana aksi infrastruktur transportasi. Salah satunya mengenai terbangunnya Pelabuhan Kalibaru sebagai perluasan Pelabuhan Tanjung Priok yang ditarget pada 2012-2015.
Selain itu, rencana aksi infrastruktur transportasi lainnya mengenai percepatan dan peningkatan implementasi transportasi multimoda yang ditarget dapat mulai pada 2012 hingga 2015 dengan penanggung jawab Kemenhub.
Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono mengatakan sistem logistik nasional harus diperkuat dengan meningkatkan konektivitas domestik yang ditunjang oleh sistem multimoda untuk menghadapi integrasi jasa logistik ASEAN pada 2013. “Untuk memperkuat logistik nasional, kita harus fokus pada domestik, karena ekonomi kita sudah teruji tahan terhadap guncangan krisis di luar negeri. Selanjutnya, soal multimoda dengan fokus di daerah tertentu, dan kita harus bangun infrastruktur,” kata Wamenhub.
Saut Gurning menyoroti solusi yang tepat untuk kondisi logistik nasional dengan menetapkan Batam sebagai episentrum pelabuhan di Tanah Air. Penetapan Batam sebagai episentrum ini dapat diusung dalam konsep pendulum nusantara, yakni menjadikan Pelabuhan Batam tempat dikumpulkannya barang-barang ekspor nasional, sehingga dapat menyaingi Singapura.
“Namun, konsep Batam menjadi episentrum untuk pendulum nasional ini sayangnya akan terhapus seiring rencana dibangunnya Terminal Pelabuhan Kalibaru atau New Priok di Tanjung Priok Jakarta, yang ditarget beroperasi pada 2014,” tuturnya.
Kementerian Perhubungan mencatat untuk perbaikan dan pengembangan 29 pelabuhan nasional dibutuhkan dana US$ 13 miliar atau sekitar Rp 117 triliun untuk mengatasi masalah dalam sistem logistik di jalur laut.
Berdasarkan konsep Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), perbaikan itu diprioritaskan untuk 29 pelabuhan dari sekitar 1.324 pelabuhan di Indonesia yang akan diimplementasikan hingga 2025.
Pertanyaaannya kini, mampukah cetak biru Sislognas yang sudah dicetuskan pemerintah menjawab permasalahan logistik di Tanah Air?Apakah sekadar solusi cantik di lembaran kertas?
Sumber : Sinar Harapan

Tidak ada komentar: